Saturday, January 19, 2013

Cerpen : Tak Akan Ada Lagi



TAK AKAN ADA LAGI
Oleh : Nurma Desty Anggraeni


“Loh? Kamu tidak jadi masuk universitas itu, Nit? Katanya kamu mau terus dekat sama kakakmu itu?  Dia bukan mahasiswa universitas ini loh.” Kataku seraya menyikut usil Nita yang sedari tadi berkutat didepan laptop, sibuk mengisi formulir pendaftaran online sebuah universitas kenamaan Indonesia. Nita yang mendengar itu hanya tersenyum simpul.

“Aku tidak sebodoh itu mempertaruhkan masa depanku hanya demi hal sepele,” jawabnya singkat. Aku terdiam. Wajahku memucat, aku merasa seperti dihujam oleh ribuan batu tajam tepat dijantungku.

“Se.. sepele?”

“Ya,” kali ini Nita menoleh kearahku “Mungkin aku memang tergila-gila dengannya tapi itu tidak membuatku gelap mata, lalu mempertaruhkan segalanya hanya demi bisa terus berada didekatnya. Tidak.”

***

“Duh, lama banget sih!” gerutuku melempar gelas plastik bekas milkshake ke tong sampah. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 12:30. Satu jam dari yang dijanjikan. Bahkan milkshake yang aku pesankan untuknya juga sudah mencair menjadi air seutuhnya. “Huh! Kalau dia tidak muncul-muncul juga, akan aku habiskan juga milkshake durian ini!”

Tik tik tik tik. Pergerakan jarum jam tangan yang biasanya mustahil aku bisa aku dengar, kini malah terdengar keras sekali ditelingaku. Seakan-akan sengaja mengejekku yang sedari tadi menunggu seseorang yang entah sekarang ada dimana. Seseorang yang bahkan belum tampak batang hidungnya sampai sekarang padahal kemarin dia dengan soknya berkata bahwa dia akan sampai duluan.

“Huh! Kak Ansa mana sih! Lama banget!” teriakku kesal. “Ah aku mau pulang! Tahu gini lebih baik aku main game saja dirumah! Huh!” Kulempar milkshake durian tadi ke tong sampah. Tidak masuk. Gelas plastiknya malah pecah dan meluber kemana-mana. Huh, biarkan saja. “Heh, mau apa lihat-lihat, hah?” bentakku kepada dua orang perempuan yang sedari tadi melihatku dengan tatapan aneh.

“Ti.. tidak apa apa” kata mereka terbata-bata seraya cepat-cepat menyingkir dariku yang sudah siap meledak. Mungkin mereka ketakutan melihat sikapku yang beringas. Dasar gadis gila, bisik salah satu dari mereka. Yang satunya hanya mengangguk setuju. 

“Cih, dasar gadis-gadis cengeng. Beraninya dibelakang!  Sudah ah! Aku pulang, masa bodoh sama kak Ansa.” Aku pun siap melangkah pergi. Tapi langkahku terhenti saat aku mendengar suara tawa dibelakangku.

 “Hahahahahahahahahahaha!!” 

Suara tawa itu.
 
“Kak…… Ansa……!!!!!!!!!” seruku kesal. 

“Hahahahahaha! Asty! Asty! Coba kamu lihat bagaimana wajahmu tadi. Hahahaha. Dua orang tadi sampai pucat hahahaha. Tong sampah itu juga sampai penyok gara-gara kamu. Hahaha. Kamu emang gak pernah berubah ya hahahaaa aduh!” ringis kak Ansa, merasakan jitakan mautku.

“Ya! Kakak kemana aja sih! Bukannya minta maaf malah ketawa!” seruku, melancarkan tatapan maut. Orang yang ditanya malah meringis geli.

“Hahaha. Maaf maaf. Kakak dari tadi sudah disini kok. Cuma kamu aja yang gak sadar.”

“Kok kakak gak manggil aku sih! Kalau gitu kan aku gak perlu buang-buang tenaga buat marah-marah!” ujarku bersungut-sungut. 

“Seng-a-ja. Hahaha. Jangan ngambek dong. Lagipula sudah lama kakak gak lihat wajah konyolmu itu kalau lagi marah-marah. Hehehe. Maaf ya, jangan marah-marah lagi dong ya,” katanya tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Melihat dia yang tersenyum lebar seperti itu, mau tak mau aku pun ikut tersenyum. Ah, aku memang selalu lemah jika berhadapan dengannya  “Huu. Iya deh iya”.

“Nah gitu dong. Yuk pergi!” aku mengangguk, dan berjalan disampingnya. Sesekali kupandangi wajahnya yang terus tersenyum itu.  

Kak Ansa. Orang yang sudah masuk kedalam daftar orang-orang istimewa dalam hidupku bahkan sejak pertama kali kami bertemu. Pacar? Haha. Tentu saja bukan. Dia hanyalah seorang kakak kelas di sekolahku yang kemudian naik tingkat menjadi sahabatku yang paling dekat. Ya, aku akui aku memang menyukainya. Sangat menyukainya. Tapi aku tidak terlalu ambil pusing soal status-status seperti itu. Selama aku bisa mnghabiskan waktu bersamanya, titel sahabat pun tak jadi masalah. Hahaha. Pokoknya dia adalah orang yang paling mengerti aku. Hanya padanyalah aku bisa terbuka, dan hanya dialah yang bisa membuatku tersenyum kembali,  tak peduli seburuk apapun suasana hatiku.
 
Aku jadi ingat saat pertama kali bertegur sapa dengannya. Peristiwa memalukan. aku menabrak dan menumpahkan soda kebajunya. Aku yang panik hanya bisa meminta maaf. Tapi bukannya marah dia malah tertawa dan berkata bahwa itu bukan masalah besar. Melihat sikapnya yang berlawanan 180º dari kakak-kakak kelas lainnya mau tak mau membuat aku tersanjung. Hell yeah mungkin sejak itu aku sudah memendam rasa lebih padanya.Pertemuan kami selanjutnya adalah di klub karate. Ternyata dia juga memiliki hobi yang sama denganku! Dari situlah kami mulai bertegur sapa dan dekat. Sampai detik ini.

“Hei. Kok melamun sih?” tegur kak Ansa membuyarkan lamunanku. Disodorkannya es krim yang dibelinya. Aku mengangkat bahu “Tidak, aku cuma sedikit lelah. Hehehe.” Ya, aku memang lelah setelah seharian bermain di taman bermain ini.

“Wajar sih, soalnya sudah lama juga kan kita gak pergi seperti ini” kata kak Ansa. Aku hanya bergumam mengiyakan. Memang sudah lama kami tidak pergi keluar bersama sejak kak Ansa sibuk belajar dan tryout mempersiapkan diri untuk UN dan tes masuk SMA. Tak lama lagi kak Ansa akan lulus dan pergi dari SMP. Dan itu artinya sebentar lagi aku akan berpisah dengan kak Ansa. Hanya berbeda sekolah sih, tapi tetap saja berpisah kan?

“Kak Ansa, kakak jadi masuk smansa?” tanyaku. Kak Ansa mengangguk mantap. “Iya dong. Itu kan sudah menjadi cita-cita kakak sejak dulu. Memang kenapa?”

Aku menghela nafas, “Waktu cepat sekali berjalan ya kak.” Kak Ansa tersenyum simpul. Senyum yang tidak bisa aku artikan apa maksudnya. Ah, dia pasti mengerti perasaanku, as always.
 
“Ya. Tidak ada kekuatan apapun yang dapat menghentikan atau memperlambatnya. Kita hanya bisa terus berjalan, mengalir dan memanfaatkan waktu yang ada untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan. Begitu juga yang bisa kita lakukan, Asty. Kakak ingin tetap seperti ini, tapi itu mustahil. Kakak harus terus berjalan, berpindah. Begitu juga kau. Kalau Asty ingin terus bersama kakak, maka belajarlah supaya bisa masuk smansa dan kita bisa sama-sama lagi. Tapi pilihan semua ada ditanganmu. Ada atau tidaknya kita, kau dan aku akan terus berjalan. Ya, Walaupun kau menutupinya, tapi kakak tahu kalau Asty ingin selalu bersama kakak, ya kan?” katanya menggodaku. 

Sontak mukaku memerah mendengarnya. Sial kenapa sih dia selalu bisa menebak keinginanku dengan tepat, pikirku.

“Ih najis! Kakak ge-ernya kebangetan sih.” Cibirku. “Tapi..OK! Tunggu aku ya kak! Aku janji!”

 
Ya. Aku berjanji. Dan aku menepatinya. Tapi apa yang aku terima? Sebuah penolakan terkejam yang pernah ada dimuka bumi ini. Dia.. dia tidak menghiraukan aku saat aku memanggilnya, tidak sedikitpun menoleh padaku bahkan saat berpapasan dikoridor sekolah. Dia seakan menganggapku tidak ada. Kejam. Kejam sekali. Apa yang dia lakukan? Kenapa dia seperti itu kepadaku? Apa salahku?

Saat ia meninggalkan SMP, kami masih sempat bertukar kabar. Tapi lama kelamaan dia tidak lagi rajin membalas pesanku, tidak lagi mengangkat teleponku. Bahkan dia menganti nomornya dan tidak lagi menghubungiku setelahnya. Aku merasa sangat kehilangan. Itulah mengapa aku merasa sangat bahagia saat melihatnya pertama kali di parkiran SMA. Akhirnya…

“Kak Ansa!” panggilku dengan penuh semangat. Itu adalah pertemuan pertama kami setelah dua tahun tidak bertemu. Pertemuan pertama di sekolah baru. Aku begitu senang ketika dia menoleh. Benar! Benar! Itu benar-benar dia! 

Tapi, bukannya tersenyum seperti yang aku harapkan, dia malah memandangku dengan tatapan kosong, lalu kembali membelakangiku, tak menghiraukan aku yang tercengang dibelakangnya. Aku yakin. Aku yakin sekali dia melihatku! Tidak mungkin dia tidak menyadari kehadiranku. Mengapa dia seperti itu? Mengapa?

Potongan memori kejam itu, ditambah lagi kenangan-kenangan akan kebersamaan kami dimasa lalu terus membayangiku. Memenuhi otakku, membuatku sesak dan muak. Aku tidak tahan lagi! 

Aku harus menemuinya dan meminta penjelasan. Harus.
 
“Kak Ansa. Kita harus bicara!” Kutarik dia ke bawah pohon dilapangan depan sekolah dengan kasar. Tak kupedulikan teman-temannya yang terheran-heran melihatku menyeret pergi kak Ansa.

“Ada apa ini? Kau, mau apa?” Tanya kak Ansa dengan nada datar seperti tidak ada yang perlu di khawatirkan. Nada yang membuat aku mual.

“Aku mau penjelasan!” bentakku. “Kenapa? Kenapa kakak seperti ini padaku? Kakak memutuskan kontak seenaknya! Lalu.. lalu kakak bertingkah seperti tidak pernah mengenalku.”

“Kita memang tidak saling mengenal, bukan?” ucapnya datar. 

Aku tercekat mendengarnya. “Apa? Apa maksudmu kita tidak saling mengenal,hah? Bagaimana mungkin kau tidak mengenalku! Ini aku Asty! Asty! Sahabat kecilmu yang selalu bersamamu saat kita SMP dulu! Yang berjanji akan berjuang agar bisa masuk ke sekolah ini, agar kita bisa bersama seperti dulu! Aku sudah menepati janjiku. Tapi mengapa kau seperti ini?”

“Aku sama sekali tidak menyangka kalau kau akan menganggap serius semua perkataanku saat itu, padahal aku hanya bercanda menyuruhmu terus mengikutiku.” Katanya datar.

“Bercanda? Tega… Padahal aku.. aku selalu memikirkan kakak! Aku selalu berjuang supaya aku bisa meraihmu. Tapi…” aku mati-matian menjaga agar suaraku tidak bergetar. “Se-begitu tidak berharganya kah masa lalu dimatamu, kak?” tanyaku pelan.

Kak Ansa menghela nafas pelan, “Ya. Dan jika kita memang saling mengenal, itu hanya di masa lalu, Asty. Aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Bukankah aku pernah mengatakannya kepadamu? Aku harus terus berjalan, berpindah. Semua pilihan ada ditanganmu. Ada atau tidaknya kita, kau dan aku akan terus berjalan. Tidakkah kau mengerti apa maksudku saat itu? Dan Ini adalah pilihanku. Jadi, aku harap kau berhenti mengejar bayang yang hanya ada di masa lalu. Berdirilah dan melangkahlah kedepan. Jangan lagi memikirkan aku.. karena aku tidak pantas untuk kau pikirkan. Maaf Asty, tapi aku tidak bisa menerima perasaanmu dan kembali menjadi “kakak Ansa”-mu lagi.” Katanya mengakhiri semuanya. Dia pun berbalik pergi meninggalkanku.

Perkataannya seperti ultimatum yang tidak akan pernah bisa dibantah. Aku hanya bisa tercengang, tenggelam ke dalam bagian paling kelam dihatiku. Hancur. Berakhir sudah. Segalanya. 

***

Kuseka air mataku yang mengalir. “Sial! Bantalku jadi basah gini kan. Dasar bodoh. Ngapain juga aku masih mikirin dia.. Hahaha bodoh!” Gerutuku, mengasihani diri sendiri.

Ya. Kasihan sekali diriku ini. Peristiwa itu sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu, tapi aku masih saja belum bisa melupakan kak Ansa sepenuhnya. Miris memang, Asty yang tomboy, kuat dan dikagumi teman-temannya akan keberaniannya ini justru dibuat sangat lemah oleh hal-hal ‘sepele’seperti cinta. Sampai sekarang, rahasia ini hanya aku, Tuhan dan Nita yang tahu. Nita-lah yang selalu menguatkan dan memperingatkanku agar tidak lagi terbodohi oleh cinta. 

Ah, Nita. Aku sangat kagum sekaligus iri dengannya.  Seandainya aku punya pemikiran yang sama dengannya waktu itu, kurasa aku tidak akan seperti ini sekarang. Haha. Konyol memang, tapi sudah aku katakan sebelumnya bukan? Aku memang lemah jika dihadapkan dengan masalah cinta.

“Lovin' you tsunaideta kimi no te ga… Lovin' you hanarete yuku..”

 

Lovin’ You dari Tohoshinki berdendang lembut. Ada pesan rupanya. Malas-malasan kuraih ponselku. Aku tertegun membaca pesan yang ada.

 

“Hai Asty. Apa kabar?

Mungkin agak aneh karena sudah lama kita tak bertegur sapa.

Aku benar-benar minta maaf dan merasa sangat menyesal akan hari itu.

Maafkan aku. Aku tidak tahu apa kau masih sudi membalas pesan ini.

Tapi aku tahu aku akan sangat senang dan bersyukur jika kau melakukannya

-         Kak Ansa.”

 

Aku tersenyum simpul. Ku matikan ponsel dan membiarkannya tergeletak disampingku. Tidak lagi. Tidak akan ada lagi.