TAK AKAN ADA LAGI
Oleh : Nurma Desty Anggraeni
“Loh?
Kamu tidak jadi masuk universitas itu, Nit? Katanya kamu mau terus dekat sama kakakmu itu? Dia bukan mahasiswa universitas ini loh.”
Kataku seraya menyikut usil Nita yang sedari tadi berkutat didepan laptop,
sibuk mengisi formulir pendaftaran online
sebuah universitas kenamaan Indonesia. Nita yang mendengar itu hanya tersenyum
simpul.
“Aku
tidak sebodoh itu mempertaruhkan masa depanku hanya demi hal sepele,” jawabnya
singkat. Aku terdiam. Wajahku memucat, aku merasa seperti dihujam oleh ribuan
batu tajam tepat dijantungku.
“Se..
sepele?”
“Ya,”
kali ini Nita menoleh kearahku “Mungkin aku memang tergila-gila dengannya tapi
itu tidak membuatku gelap mata, lalu mempertaruhkan segalanya hanya demi bisa
terus berada didekatnya. Tidak.”
***
“Duh,
lama banget sih!” gerutuku melempar gelas plastik bekas milkshake ke tong sampah. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul
12:30. Satu jam dari yang dijanjikan. Bahkan milkshake yang aku pesankan untuknya juga sudah mencair menjadi air
seutuhnya. “Huh! Kalau dia tidak muncul-muncul juga, akan aku habiskan juga milkshake durian ini!”
Tik
tik tik tik. Pergerakan jarum jam tangan yang biasanya mustahil aku bisa aku
dengar, kini malah terdengar keras sekali ditelingaku. Seakan-akan sengaja
mengejekku yang sedari tadi menunggu seseorang yang entah sekarang ada dimana.
Seseorang yang bahkan belum tampak batang hidungnya sampai sekarang padahal
kemarin dia dengan soknya berkata bahwa dia akan sampai duluan.
“Huh!
Kak Ansa mana sih! Lama banget!” teriakku kesal. “Ah aku mau
pulang! Tahu gini lebih baik aku main game saja dirumah! Huh!” Kulempar milkshake durian tadi ke tong sampah.
Tidak masuk. Gelas plastiknya malah pecah dan meluber kemana-mana. Huh, biarkan
saja. “Heh, mau apa lihat-lihat, hah?” bentakku kepada dua orang perempuan yang
sedari tadi melihatku dengan tatapan aneh.
“Ti..
tidak apa apa” kata mereka terbata-bata seraya cepat-cepat menyingkir dariku
yang sudah siap meledak. Mungkin mereka ketakutan melihat sikapku yang
beringas. Dasar gadis gila, bisik salah satu dari mereka. Yang satunya hanya
mengangguk setuju.
“Cih,
dasar gadis-gadis cengeng. Beraninya dibelakang! Sudah ah! Aku pulang, masa bodoh sama kak
Ansa.” Aku pun siap melangkah pergi. Tapi langkahku terhenti saat aku mendengar
suara tawa dibelakangku.
“Hahahahahahahahahahaha!!”
Suara
tawa itu.
“Kak……
Ansa……!!!!!!!!!” seruku kesal.
“Hahahahahaha!
Asty! Asty! Coba kamu lihat bagaimana wajahmu tadi. Hahahaha. Dua orang tadi
sampai pucat hahahaha. Tong sampah itu juga sampai penyok gara-gara kamu. Hahaha.
Kamu emang gak pernah berubah ya hahahaaa aduh!” ringis kak Ansa, merasakan
jitakan mautku.
“Ya!
Kakak kemana aja sih! Bukannya minta maaf malah ketawa!” seruku, melancarkan
tatapan maut. Orang yang ditanya malah meringis geli.
“Hahaha.
Maaf maaf. Kakak dari tadi sudah disini kok. Cuma kamu aja yang gak sadar.”
“Kok
kakak gak manggil aku sih! Kalau gitu kan aku gak perlu buang-buang tenaga buat
marah-marah!” ujarku bersungut-sungut.
“Seng-a-ja.
Hahaha. Jangan ngambek dong. Lagipula sudah lama kakak gak lihat wajah konyolmu
itu kalau lagi marah-marah. Hehehe. Maaf ya, jangan marah-marah lagi dong ya,”
katanya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Melihat
dia yang tersenyum lebar seperti itu, mau tak mau aku pun ikut tersenyum. Ah, aku memang selalu lemah jika berhadapan
dengannya “Huu. Iya deh iya”.
“Nah
gitu dong. Yuk pergi!” aku mengangguk, dan berjalan disampingnya. Sesekali
kupandangi wajahnya yang terus tersenyum itu.
Kak
Ansa. Orang yang sudah masuk kedalam daftar orang-orang
istimewa dalam hidupku bahkan sejak pertama kali kami bertemu. Pacar? Haha.
Tentu saja bukan. Dia hanyalah seorang kakak kelas di sekolahku yang kemudian
naik tingkat menjadi sahabatku yang paling dekat. Ya, aku akui aku memang
menyukainya. Sangat menyukainya. Tapi aku tidak terlalu ambil pusing soal
status-status seperti itu. Selama aku bisa mnghabiskan waktu bersamanya, titel
sahabat pun tak jadi masalah. Hahaha. Pokoknya dia adalah orang yang paling
mengerti aku. Hanya padanyalah aku bisa terbuka, dan hanya dialah yang bisa membuatku
tersenyum kembali, tak peduli seburuk
apapun suasana hatiku.
Aku
jadi ingat saat pertama kali bertegur sapa dengannya. Peristiwa memalukan. aku
menabrak dan menumpahkan soda kebajunya. Aku yang panik hanya bisa meminta
maaf. Tapi bukannya marah dia malah tertawa dan berkata bahwa itu bukan masalah
besar. Melihat sikapnya yang berlawanan 180º dari kakak-kakak kelas lainnya mau
tak mau membuat aku tersanjung. Hell yeah
mungkin sejak itu aku sudah memendam rasa lebih padanya.Pertemuan kami
selanjutnya adalah di klub karate. Ternyata dia juga memiliki hobi yang sama
denganku! Dari situlah kami mulai bertegur sapa dan dekat. Sampai detik ini.
“Hei.
Kok melamun sih?” tegur kak Ansa membuyarkan lamunanku. Disodorkannya es krim
yang dibelinya. Aku mengangkat bahu “Tidak, aku cuma sedikit lelah. Hehehe.”
Ya, aku memang lelah setelah seharian bermain di taman bermain ini.
“Wajar
sih, soalnya sudah lama juga kan kita gak pergi seperti ini” kata kak Ansa. Aku
hanya bergumam mengiyakan. Memang sudah lama kami tidak pergi keluar bersama
sejak kak Ansa sibuk belajar dan tryout mempersiapkan
diri untuk UN dan tes masuk SMA. Tak
lama lagi kak Ansa akan lulus dan pergi dari SMP. Dan itu artinya sebentar lagi
aku akan berpisah dengan kak Ansa. Hanya berbeda sekolah sih, tapi tetap saja
berpisah kan?
“Kak
Ansa, kakak jadi masuk smansa?” tanyaku. Kak Ansa mengangguk mantap. “Iya dong.
Itu kan sudah menjadi cita-cita kakak sejak dulu. Memang kenapa?”
Aku
menghela nafas, “Waktu cepat sekali berjalan ya kak.” Kak Ansa tersenyum
simpul. Senyum yang tidak bisa aku artikan apa maksudnya. Ah, dia pasti
mengerti perasaanku, as always.
“Ya.
Tidak ada kekuatan apapun yang dapat menghentikan atau memperlambatnya. Kita
hanya bisa terus berjalan, mengalir dan memanfaatkan waktu yang ada untuk
mencapai hal-hal yang kita inginkan. Begitu juga yang bisa kita lakukan, Asty.
Kakak ingin tetap seperti ini, tapi itu mustahil. Kakak harus terus berjalan,
berpindah. Begitu juga kau. Kalau Asty ingin terus bersama kakak, maka
belajarlah supaya bisa masuk smansa dan kita bisa sama-sama lagi. Tapi pilihan
semua ada ditanganmu. Ada atau tidaknya kita,
kau dan aku akan terus berjalan. Ya, Walaupun kau menutupinya, tapi kakak tahu
kalau Asty ingin selalu bersama kakak, ya kan?” katanya menggodaku.
Sontak
mukaku memerah mendengarnya. Sial kenapa sih dia selalu bisa menebak
keinginanku dengan tepat, pikirku.
“Ih
najis! Kakak ge-ernya kebangetan sih.” Cibirku. “Tapi..OK! Tunggu aku ya kak!
Aku janji!”
Ya.
Aku berjanji. Dan aku menepatinya. Tapi apa yang aku terima? Sebuah penolakan
terkejam yang pernah ada dimuka bumi ini. Dia.. dia tidak menghiraukan aku saat
aku memanggilnya, tidak sedikitpun menoleh padaku bahkan saat berpapasan
dikoridor sekolah. Dia seakan menganggapku tidak ada. Kejam. Kejam sekali. Apa
yang dia lakukan? Kenapa dia seperti itu kepadaku? Apa salahku?
Saat
ia meninggalkan SMP, kami masih sempat bertukar kabar. Tapi lama kelamaan dia
tidak lagi rajin membalas pesanku, tidak lagi mengangkat teleponku. Bahkan dia
menganti nomornya dan tidak lagi menghubungiku setelahnya. Aku merasa sangat
kehilangan. Itulah mengapa aku merasa sangat bahagia saat melihatnya pertama
kali di parkiran SMA. Akhirnya…
“Kak
Ansa!” panggilku dengan penuh semangat. Itu adalah pertemuan pertama kami
setelah dua tahun tidak bertemu. Pertemuan pertama di sekolah baru. Aku begitu
senang ketika dia menoleh. Benar! Benar! Itu benar-benar dia!
Tapi,
bukannya tersenyum seperti yang aku harapkan, dia malah memandangku dengan
tatapan kosong, lalu kembali membelakangiku, tak menghiraukan aku yang
tercengang dibelakangnya. Aku yakin. Aku yakin sekali dia melihatku! Tidak
mungkin dia tidak menyadari kehadiranku. Mengapa dia seperti itu? Mengapa?
Potongan
memori kejam itu, ditambah lagi kenangan-kenangan akan kebersamaan kami dimasa
lalu terus membayangiku. Memenuhi otakku, membuatku sesak dan muak. Aku tidak
tahan lagi!
Aku harus
menemuinya dan meminta penjelasan. Harus.
“Kak
Ansa. Kita harus bicara!” Kutarik dia ke bawah pohon dilapangan depan sekolah
dengan kasar. Tak kupedulikan teman-temannya yang terheran-heran melihatku menyeret
pergi kak Ansa.
“Ada
apa ini? Kau, mau apa?” Tanya kak Ansa dengan nada datar seperti tidak ada yang
perlu di khawatirkan. Nada yang membuat aku mual.
“Aku
mau penjelasan!” bentakku. “Kenapa? Kenapa kakak seperti ini padaku? Kakak
memutuskan kontak seenaknya! Lalu.. lalu kakak bertingkah seperti tidak pernah
mengenalku.”
“Kita
memang tidak saling mengenal, bukan?” ucapnya datar.
Aku
tercekat mendengarnya. “Apa? Apa maksudmu kita tidak saling mengenal,hah? Bagaimana
mungkin kau tidak mengenalku! Ini aku Asty! Asty! Sahabat kecilmu yang selalu
bersamamu saat kita SMP dulu! Yang berjanji akan berjuang agar bisa masuk ke
sekolah ini, agar kita bisa bersama seperti dulu! Aku sudah menepati janjiku.
Tapi mengapa kau seperti ini?”
“Aku
sama sekali tidak menyangka kalau kau akan menganggap serius semua perkataanku
saat itu, padahal aku hanya bercanda menyuruhmu terus mengikutiku.” Katanya
datar.
“Bercanda?
Tega… Padahal aku.. aku selalu memikirkan kakak! Aku selalu berjuang supaya aku
bisa meraihmu. Tapi…” aku mati-matian menjaga agar suaraku tidak bergetar.
“Se-begitu tidak berharganya kah masa lalu dimatamu, kak?” tanyaku pelan.
Kak
Ansa menghela nafas pelan, “Ya. Dan jika kita memang saling mengenal, itu hanya
di masa lalu, Asty. Aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Bukankah aku
pernah mengatakannya kepadamu? Aku harus
terus berjalan, berpindah. Semua
pilihan ada ditanganmu. Ada atau tidaknya kita, kau dan aku akan terus
berjalan. Tidakkah kau mengerti apa maksudku saat itu? Dan Ini adalah
pilihanku. Jadi, aku harap kau berhenti mengejar bayang yang hanya ada di masa
lalu. Berdirilah dan melangkahlah kedepan. Jangan lagi memikirkan aku.. karena
aku tidak pantas untuk kau pikirkan. Maaf Asty, tapi aku tidak bisa menerima
perasaanmu dan kembali menjadi “kakak
Ansa”-mu lagi.” Katanya mengakhiri
semuanya. Dia pun berbalik pergi meninggalkanku.
Perkataannya
seperti ultimatum yang tidak akan pernah bisa dibantah. Aku hanya bisa
tercengang, tenggelam ke dalam bagian paling kelam dihatiku. Hancur. Berakhir
sudah. Segalanya.
***
Kuseka
air mataku yang mengalir. “Sial! Bantalku jadi basah gini kan. Dasar bodoh.
Ngapain juga aku masih mikirin dia.. Hahaha bodoh!” Gerutuku, mengasihani diri
sendiri.
Ya.
Kasihan sekali diriku ini. Peristiwa itu sudah berlalu bertahun-tahun yang
lalu, tapi aku masih saja belum bisa melupakan kak Ansa sepenuhnya. Miris
memang, Asty yang tomboy, kuat dan dikagumi teman-temannya akan keberaniannya
ini justru dibuat sangat lemah oleh hal-hal ‘sepele’seperti cinta. Sampai
sekarang, rahasia ini hanya aku, Tuhan dan Nita yang tahu. Nita-lah yang selalu
menguatkan dan memperingatkanku agar tidak lagi terbodohi oleh cinta.
Ah,
Nita. Aku sangat kagum sekaligus iri dengannya. Seandainya
aku punya pemikiran yang sama dengannya waktu itu, kurasa aku tidak akan
seperti ini sekarang. Haha. Konyol memang, tapi sudah aku katakan sebelumnya
bukan? Aku memang lemah jika dihadapkan dengan masalah cinta.
“Lovin' you tsunaideta kimi no te ga… Lovin' you hanarete
yuku..”
Lovin’ You dari Tohoshinki berdendang
lembut. Ada pesan rupanya. Malas-malasan kuraih ponselku. Aku tertegun membaca
pesan yang ada.
“Hai Asty. Apa kabar?
Mungkin agak aneh karena sudah lama kita tak bertegur sapa.
Aku benar-benar minta maaf dan merasa sangat menyesal akan hari itu.
Maafkan aku. Aku tidak tahu apa kau masih sudi membalas pesan ini.
Tapi aku tahu aku akan sangat senang dan bersyukur jika kau melakukannya
-
Kak Ansa.”
Aku tersenyum simpul. Ku matikan
ponsel dan membiarkannya tergeletak disampingku. Tidak lagi. Tidak akan ada
lagi.